Selasa, 01 Oktober 2013

Softskill Cerpen

Rindu Ayah

Aku adalah seorang anak yang terlahir dari sebuah keluarga kecil yang sederhana. Keluargaku terdiri dari enam orang, yaitu Ayah, Ibu, aku dan tiga orang adikku. Aku sangat bahagia, mempunyai keluarga yang harmonis dan sangat sayang kepadaku dan adik-adikku. Kebahagiaan selalu menghiasi hari-hari kami walaupun terkadang terjadi keributan kecil antara aku dan adikku, tapi kedua orangtuaku bisa memakluminya dan selalu menasehati kami tanpa amarahnya.
Ayahku adalah seorang pekerja swasta yang memiliki pekerjaan tidak tetap. Upah yang diterima kadang kala kurang memenuhi kebutuhan keluarga kami, seperti biaya sekolahku, susu untuk adik-adikku dan keperluan rumah tangga lainnya. Namun dengan keadaan ini ibuku tak pernah mengeluh, selalu memahami dan tidak pernah menuntut sesuatu yang lebih dari ayahku, Ibu selalu menyambut kedatangan ayahku dengan senyum yang indah ketika Ayah pulang kerja.
Ayahku sangat menyayangi anak-anaknya, Ayah tidak pernah marah jika kami melakukan kesalahan, hanya nasehat-nasehat bijak yang membuat kami malu untuk melakukan lagi kesalahan yang sama.
Aku sangat menghormati dan menyayangi ayahku, bahkan rasa ini terasa masih kurang bila dibandingkan dengan perjuangan keras yang dilakukannya demi menghidupi keluarga kecilnya. Sampai suatu ketika, tanpa alasan yang bisa dimengerti, Ayah berubah sikap kepada kami. Ayah menjadi mudah marah, kesalahan yang kecil yang kami lakukan berubah menjadi masalah yang besar, sepertinya aku dan Ibu adalah musuh terbesarnya. Kebahagiaan yang dulu kami rasakan telah berubah menjadi hari-hari yang menakutkan jika Ayah marah, dia selalu membentak kami dengan suara yang keras. Pada saat Ibu menyiapkan makan malam kami, Ayah datang dengan wajah tidak ramah seperti sedang menahan amarahnya. Aku dan adik-adikku takut melihat wajah Ayah yang seperti itu. Kami hanya menunduk dan duduk terdiam tanpa kata, sampai akhirnya dengan suara yang lembut ibu membuka pembicaraan menanyakan keadaan ayahku hari ini. “Ayah kenapa, kok wajahnya seperti itu?” sapa Ibu. Ayah hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
Dengan penuh kesabaran Ibu lantas bertanya lagi. “Ayah kenapa, kecapekan ya yah? kok pertanyaan Ibu tidak Ayah jawab?”
Kali ini Ayah menjawab, namun bukan jawaban kelembutan yang kami dengar melainkan sebuah kalimat kasar dengan nada keras yang mengagetkan kami. “Kamu ini tidak melihat apa, aku sedang makan, malah bertanya terus, jadi hilang selera makanku melihat kamu!!” ujar Ayah.
Ayah melempar piring yang masih berisi nasi itu ke lantai, hingga nasi dan pecahan piring berhamburan kemana-mana. Melihat ini membuat Ibu sedih dan menangis. Kudekap adik-adikku dan kubawa masuk ke kamar untuk mengurangi rasa ketakutan mereka. Setelah itu kuhampiri Ibu untuk menenangkannya, tetapi Ibu menolak dan memintaku pergi, mungkin untuk saat ini Ibu lebih memilih untuk sendiri. Kemudian aku tinggalkan Ibu di ruang makan dan kembali kuhampiri adik-adikku di dalam kamar. Sedih hatiku melihat wajah ketakutan mereka. Aku sangat kaget terhadap perubahan sikap Ayah yang kuhormati dan kubanggakan selama ini, yang semula bagaikan malaikat, kini tiba-tiba seperti monster yang menghantui hari-hari kami.
Aku masih tidak percaya dengan kejadian itu, dan perubahan sikap Ayah. Aku bertanya-tanya apa yang salah dari Ibu, aku, dan adik-adikku? Selalu kubertanya dalam hati dan selalu saja tak bisa kutemukan jawabannya. Hingga kudapati telepon genggam ayah tertinggal saat beliau pergi bekerja. Tidak lama kemudian telepon Ayah berbunyi, ternyata sebuah pesan singkat masuk, takut ada yang penting, kuberanikan diri untuk membaca pesan masuk di telepon genggam Ayah, saat kubaca pesan singkat yang ternyata dari seorang wanita itu membuat aku terkejut dan tidak percaya. Sebuah pesan mesra dari seorang wanita yang sepertinya sedang dekat dengan Ayah membuatku kecewa pada Ayah yang kukagumi dan kubanggakan selama ini. Rasa ingin bercerita kepada Ibu mulai menyeruak dalam hatiku, namun perasaan tidak tega dan membayangkan wajah sedih ibu membuatku mengurungkan niat itu, aku lebih memilih untuk menyembunyikannya.
Siang itu, kucari dan kupanggil Ibu dan adik-adikku seperti biasa kulakukan sepulang sekolah. Kali ini kutemui Ibu sedang menangis di ruang makan. “Ibu mengapa menangis?” tanyaku. “Ibu mendapat kabar dari tetangga kalau Ayah kemarin pergi bersama seorang wanita”, jawab ibu yang membuat aku kaget mendengarnya. “Ternyata sampai juga berita ini kepada ibu,” gumamku.
“Ibu, mungkin tetangga kita salah lihat, siapa tahu yang dia lihat itu bukan Ayah, tapi orang lain” ujarku. “Tidak, itu benar ayahmu”, sahut Ibu kembali.
Aku hanya terdiam saat mendengar perkataan Ibu. Kupeluk Ibu sekedar untuk menenangkannya. Kuajak ibu masuk ke dalam kamar untuk segera beristirahat.
Keesokan harinya, aku pergi bersama temanku untuk mencari sebuah buku. Di tengah perjalanan kulihat Ayah sedang berboncengan motor dengan seorang wanita, betapa kagetnya aku melihat pemandangan itu. Aku tidak habis pikir kenapa Ayah bisa tega seperti itu, “Apa salah kami kepada Ayah? kenapa Ayah tega berbuat seperti ini kepada kami?” ujarku dalam hati. Kuurungkan niat membeli buku dan kuajak temanku segera pulang.
Sesampainya di rumah, aku berlari menuju kamar, kuhempaskan saja tas bawaanku ke sudut kamar, perasaan marah, kecewa dan emosi mulai mendera dalam hatiku, entah berapa lama aku menangis hingga membuatku tertidur. Aku terbangun saat mendengar suara keributan, ternyata Ibu dan Ayah sedang bertengkar. Aku takut mendengarnya. Kuhampiri dan segera kulerai mereka. Aku melihat Ibu menangis, ketika Ayah ingin mendaratkan tangannya ke pipi Ibu, aku langsung menarik dan memeluk Ibu. Ayah membentak Ibu dengan suara yang sangat keras dan langsung meninggalkan kami. Semenjak kejadian itu, Ayah tidak pernah pulang ke rumah, tapi kali ini terasa aneh, Ibu sama sekali tidak perduli, bahkan terkesan Ibu membiarkan saja keadaan ini. Mungkin kekecewaan yang teramat sangat membuat Ibu bersikap seperti ini.
Hari-hari kami sekarang dilalui tanpa Ayah. Menjelang tiga minggu Ayah tidak bersama kami, aku mulai merasa ada yang hilang dalam kehidupan kami, perasaan rindu akan kehadiran dan kehangatan seorang Ayah mulai menggangguku. Aku rindu sosok yang selalu menjaga keluarga kami. Aku rindu sosok yang selalu membuat kami bahagia. Aku rindu sosok yang selalu tersenyum dan pelukan hangat nasehatnya. Aku tidak tahu kemana harus mencari Ayah. Hanya seuntai doa yang kupanjatkan semoga Ayah cepat pulang ke rumah dan hari-hari kami kembali seperti dulu.
Hari ini tepat tanggal 27 Maret 2013 adalah hari ulang tahunku. Ibu, adik-adikku dan kerabat dekatku merayakannya dengan gembira, meskipun hanya acara kecil-kecilan namun terasa khidmat dipenuhi rasa syukur kepada-Nya. Namun kebahagiaan hari ini masih terasa kurang tanpa kehadiran ayah. Kembali perasaan rindu itu menggangguku. Aku berdoa dan berharap Ayah bisa hadir hari ini. Aku yakin Ayah pasti ingat hari spesialku ini. Semoga Tuhan menjawab doaku dan membawa Ayah kembali bersama kami.
Di tengah kebahagiaan yang aku rasakan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam yang membuat kami terkejut. Tampak wajah yang kami kenal dengan berpakaian rapi hadir di hadapan kami. Senyum itu, tatapan itu membuatku segera berlari memeluknya. “Aayaahhh!” teriakku gembira.
Seakan tak percaya, Ayah benar-benar hadir di hari ulang tahunku. Terimakasih Tuhan, Kau telah menjawab semua doa kami. Kemudian disusul oleh Ibu dan adik-adikku ikut memeluk Ayah. Suasana gembira dan haru meliputi keluarga kami saat itu.
“Ayah pulang, kamu jangan menangis lagi sayang, Ayah kembali untuk kamu, adik-adik dan ibu, maafkan Ayah ya” ucap ayah.
“Ibu, maafkan Ayah, Ayah sudah salah, Ayah sangat menyesal,” lanjut Ayah.
“Maaf untuk apa? Ayah enggak salah,” jawab Ibu.
“Ayah tahu, pasti Ibu sangat marah pada Ayah,” jawab Ayah lagi.
“Ibu gak marah sama Ayah, tapi Ibu hanya benci dengan perlakuan Ayah”
Melihat perdebatan Ibu dan Ayah membuatku sedih, apalagi saat kulihat guratan wajah lelah Ayah terlihat kecewa melihat sikap Ibu yang seperti itu. Ketika Ayah hendak pergi, aku langsung mengejar Ayah dan meminta Ayah untuk tidak pergi meninggalkan kami lagi. Tiba-tiba Ibu berkata, “Maafkan Ibu yah, Ibu sudah egois tidak memaafkan kesalahan Ayah”.
“Iya bu, ayah minta maaf karena sudah sia-siakan kalian”, jawab ayah. Akhirnya kami semua berpelukan dan saling melepas rindu. Kini Ayah telah kembali bersama kami. Semoga Tuhan menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarga kami. Aamiin.


Sumber:
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/rindu-ayah.html
Cerpen Karangan: Rahmania
Facebook: Rahmania Nur Awy

Nama: Rahmania Nur Awy
sekolah: Smk Mandiri Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar